Minggu, 03 Juli 2011

Psikologi Perkawinan


 psikologi perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasangan suami istri sering kali tidak paham tentang komitmen dalam menjalani sebuah perkawinan, oleh sebab itu sering terjadi kerancuan dalam bersikap dan membagi tugas serta kedudukan antara suami dan istri. Ketidakpuasan dalam perkawinan pun terjadi ketika tidak adanya kerelaan untuk menerima kekurangan. Mengikhlaskan hati menerima kekurangan pasangannya akan membuat kita lebih mudah mensyukuri perkawinan, sehingga tidak ada perselisihan dan pertengkaran yang dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk perceraian.

Biasanya, di tahun-tahun pertama pernikahan, sering terjadi pertengkaran, dan konflik. terutama untuk hal-hal yang sederhana. Bagaimanapun pernikahan adalah sebuah peristiwa penting dalam hidup yang menyatukan dua pribadi yang berbeda. Termasuk di dalamnya kebiasaan, harapan, aspirasi, latar belakang - baik keluarga, budaya, pendidikan, sosial, dll. Sebelum menikah, dua pribadi ini akan melalui sebuah proses yang disebut pacaran. Sebetulnya selama pacaran, kita bisa belajar untuk saling mengenal secara lebih. Sayangnya, banyak dari calon pasangan ini yang tidak cukup mampu menggali dan belajar tentang dirinya maupun pasangannya secara lebih baik. Akibatnya setelah berpacaran kita tetap memiliki keterbatasan dalam mengenal pasangan.





















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Perkawinan

Secara hukum, dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wright (herawati, 2008) mengungkapkan suami istri berarti dua orang yang dipersatukan oleh janji perkawinan dan keduanya menjadi terikat satu sama lain, baik secara fisik maupun secara emosional, dan ketertarikan cinta menciptakan kesatuan jiwa-raga, pikiran, perasaan, kemauan, kehendak, dan bahkan cita rasa diantara mereka. Mereka berjanji untuk hidup bersama dalam membangun keluarga yang didasarkan cinta kasih dan melaksanakan perintah tuhan di dalam kehidupan keluarga. 

Menurut Nick (Herawati, 2008), keluarga adalah suatu lembaga yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling komitmen dan yang berbagi kehangatan, sumber daya, keputusan, dan nilai-nilai. Salah satu sifat keluarga yang harmonis adalah mempertahankan dan menyuburkan komitmen. Anggota keluarga berdedikasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan diantara mereka. Salah satu karakteristik komitmen adalah komitmen dalam perkawinan dan komitmen untuk setia dan jujur. Suami istri terbiasa untuk jujur mengatakan apa yang diharapkan dari / oleh pasangannya, perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya. Ini berarti, mereka memiliki komitmen untuk jujur sehingga tercipta kesetiaan dalam janji perkawinan di mana keduanya berkomitmen untuk saling melindungi dan menghargai satu sama lain.


Kokohnya suatu  perkawinan merupakan idaman semua orang yang telah melangsungkan ikatan perkawinan. Namun melanggengkan suatu ikatan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Terkadang bahtera rumah tangga berjalan dengan tenang dan damai, tapi juga terkadang banyak kerikil-kerikil tajam yang akan menghalangi kebahagiaan mereka. Pasangan suami-istri harus punya komitmen untuk saling setia dan mampu mewujudkan perkatan tidak ada seseorangpun yang dicintai selain istri atau suaminya dalam sabar menghadapi godaan untuk menjalin sebuah ikatan perkawinan.


2.2 Memasuki kehidupan Perkawinan

Masa dewasa muda adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia antara 20 – 40 tahun. Pada masa ini, keadaan fisik berada pada kondisi puncak dan kemudian menurun secara perlahan. Dalam sisi perkembangan psikososial, terjadi proses pemantapan kepribadian dan gaya hidup serta merupakan saat
membuat keputusan tentang hubungan yang intim. Pada saat ini, kebanyakan orang menikah dan menjadi orang tua (Papalia, Olds, & Feldman, dalam Chairy).
Bagi kebanyakan orang, perkawinan adalah suatu yang sangat diharapkan dan sangat dipersiapkan. Oleh karena itu, tidak jarang orang mencari berbagai informasi mengenai perkawinan dengan bertanya pada orang tua atau teman,
membaca buku, atau dibekali dengan berbagai informasi tentang perkawinan melalui kursus semacam ini. Yang paling penting dari semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti pernikahan bagi diri sendiri. Dalam tahap persiapan pernikahan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.


Pasangan yang mantap untuk membina rumah tangga dan memasuki kehidupan
perkawinan adalah pasangan yang telah mengenal pasangannya masing-masing, memiliki kesamaan minat dan tujuan hidup, saling terbuka, saling percaya, saling menghormati, dan saling memahami. Hal ini tidak berarti pasangan memerlukan waktu pacaran yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Yang terpenting adalah bagaimana calon pasangan mampu untuk selalu berusaha saling mengenal dan mendalami pasangan masing-masing, tanpa harus memaksakan kehendak pribadi kepada pasangannya, dan dapat menerima pasangan kita apa adanya.

Ketika pasangan memasuki kehidupan perkawinan, tidak berarti proses mengenal
dan memahami berhenti. Kadang, masa awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri yang menyulitkan bagi pasangan suami-istri baru karena seringkali banyak terjadi hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ketika pacaran dulu, mungkin calon istri tidak mengetahui bahwa calon suaminya tidak suka tidur dengan lampu menyala, padahal calon istri terbiasa tidur dengan lampu yang terang karena si istri agak penakut. Hal ini bukan tidak mungkin akan sedikit memancing keributan di awal tidur bersama.


Hal penting berikutnya adalah cinta. Cinta merupakan kekuatan yang mampu menarik dua orang dalam satu ikatan yang tidak terpisahkan, yang dinamakan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan akan kuat ketika dilandasi oleh cinta. Hatfield (dalam Chairy) menyatakan bahwa ada dua macam cinta diantara pasangan dalam perkawinan, yaitu passionate love dan companiate for love. Cinta yang pertama berisikan reaksi emosional yang dalam kepada pasangan,
sedangkan cinta yang kedua adalah kasih sayang yang dirasakan pasangan kepada orang yang dicintainya. Cinta yang pertama penuh gelora dan gairah, sedangkan cinta yang kedua melibatkan rasa percaya, sayang, dan toleransi pada segala kekurangan pasangan. Pada masa pacaran dan di awal perkawinan, biasanya yang dominan adalah passionate love yang menggebu-gebu dan diwarnai oleh sikap posesif terhadap pasangan, sedangkan companiate love berkembang secara perlahan-lahan dan ada pada perkawinan yang bahagia dimana masing-masing pihak merasa pasangannya adalah teman yang sangat dibutuhkan keberadaannya, baik secara fisik maupun secara psikologis, untuk saling mengisi dalam kehidupan bersama.


Hal penting selanjutnya yang perlu dipersiapkan dan selalu dijalankan oleh pasangan dalam perkawinan adalah komitmen (keterikatan). Komitmen adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan. Komitmen jangka panjang dalam perkawinan memungkinkan pasangan suami-istri melakukan pengorbanan demi masa depan bersama, misalnya suami memberikan izin kepada istrinya untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi atau istri
bersedia mengikuti suaminya pindah kerja ke kota lain (Waite & Gallagher,dalam Chairy).

Komitmen juga terwujud dalam keputusan untuk memiliki anak. Dalam situasi kehidupan sekarang ini, banyak pasangan yang memutuskan untuk menunda mempunyai anak untuk jangka waktu yang lama atau justru memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pilihan ini adalah hak setiap manusia. Komitmen untuk memiliki anak ini mengandung arti bahwa pasangan suami istri akan memperhatikan perkembangan anak secara fisik dan psikologis secara bersama-sama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak bukan hanya tanggung jawab istri, tetapi juga tanggung jawab suami. Peran sebagai orang tua haruslah dijalani bersama oleh suami dan istri. Hal ini semakin disadari oleh suami pada masa sekarang, sehingga semakin banyak suami yang mendampingi istri saat melahirkan, membantu menjaga bayi, memberikan susu botol, menggantikan popok, mengantar anak sekolah, serta membantu anak belajar. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang ayah bagi anaknya.


Perkawinan juga merupakan ikatan antara pria dan wanita dalam susah dan senang. Pasangan suami-istri yang saling mengasihi tidak hanya merasakan kebersamaan pada saat gembira, tetapi juga ketika berada dalam kesulitan, kesedihan, dan kesakitan. Pasangan yang baik adalah pendamping yang setia, yang bersedia menjadi tempat bersandar ketika duka dan menjadi tempat berteduh ketika hujan dan badai. Hidup perkawinan bukanlah jalan yang selalu lurus dan rata, tetapi seringkali merupakan jalan yang berliku dan berduri. Namun, perjalanan perkawinan tetap akan menyenangkan dan menggairahkan jika pasangan tidak banyak mengeluh, keras kepala, defensif, dan menarik diri dari pasangan.

Pasangan suami-istri yang sejati adalah pasangan yang saling terbuka. Ini berarti,
hal penting yang harus selalu ada dalam kehidupan perkawinan adalah komunikasi diantara suami dan istri. Kebanyakan konflik yang muncul pada pasangan suami-istri yang dapat berakhir pada perceraian adalah karena masalah komunikasi. Pada masa berpacaran, biasanya pasangan memiliki khusus khusus untuk selalu berduaan, saling berbagi cerita gembira maupun sedih, serta saling memperbaiki kesalahan. Namun hal yang sama seringkali tidak terjadi ketika pasangan sudah menikah dan memiliki anak. Dengan berjalannya waktu, seringkali kehidupan perkawinan menjadi kehidupan yang rutin dan suami atau istri merasa bahwa seharusnya pasangannya sudah tahu apa yang diinginkan oleh pasangannya. Hal ini tidaklah benar. Pasangan tetap perlu membina komunikasi yang lancar dan saling terbuka, saling berbagi cerita, saling menyatakan keinginan secara terbuka, saling asertif, saling mengoreksi kesalahan pasangan, dan bersedia menerima kesalahan tanpa berdebat dan merasa sakit hati. Dengan adanya komunikasi yang lancar, pasangan akan lebih mudah untuk mengatasi masalah serta mengambil keputusan bersama. Usahakanlah untuk membuka dan menjalin komunikasi dengan menciptakan suasana seperti ketika berpacaran. Pergilah ke tempat romantis yang dulu sering dikunjungi ketika berpacaran, kenakankan model dan warna pakaian yang disukai pasangan, pasanglah musik atau lagu kenangan anda berdua, dan bisikanlah kata saying yang dulu sering diucapkan kala berduaan. Kadang kegiatan ini tidak mungkin dilakukan ketika pasangan sudah menikah dengan alasan sibuk bekerja atau sibuk mengurus anak. Tetapi hal ini merupakan kegiatan yang perlu dan harus dilakukan agar komunikasi dan hubungan romantis dapat terus terbina diantara suami dan istri.


Hal terakhir yang juga perlu diingat oleh pasangan suami-istri adalah bahwa
perkawinan bukan sekedar persatuan dua orang, melainkan persatuan dua keluarga yang membentuk satu ikatan keluarga baru. Satu orang dengan orang lain saja bisa memiliki perbedaan yang besar, apalagi dua keluarga yang masing-masing pasti memiliki kebiasaan dan aturan keluarga tersendiri. Oleh karena itu, hal penting yang perlu dipersiapkan dan perlu diingat oleh setiap pasangan suami-istri adalah juga berusaha mengenal keluarga besar pasangannya. Jangan sampai keluarga suami atau istri anda marah kepada anda dan mertua anda gara-gara anda tidak mengenal dirinya. Saat ini banyak pasangan yang tidak ingin tinggal bersama atau tinggal dekat dengan mertua dan ipar bahkan mungkin mengharapkan tidak mempunyai mertua dan ipar dengan berbagai alasannya. Hal itu boleh saja, tetapi satu hal yang pasti ketika seseorang menikah dengan orang lain, maka orang tua pasangannya akan menjadi orang tuanya juga, adik dan kakak pasangannya akan menjadi adik dan kakaknya juga dan sebaliknya ketika seseorang menjadi menantu orang lain, maka orang itu menjadi anak dari orang tua serta adik dan kakak dari keluarga pasangannya. Ini berarti, sebaiknya terbentuk hubungan yang harmonis antara pasangan suami-istri dengan orang tua dan keluarga pasangannya. Kadang hal ini memang tidak mudah. Tetapi mulailah berpikir dan mengingat bahwa suatu hari nanti anda juga akan menjadi mertua. Jadi, jangan sia-siakan mertua anda agar anda juga tidak disia-siakan oleh menantu anda.














BAB III
KESIMPULAN


Kehidupan perkawinan adalah kehidupan dari pasangan pria dan wanita yang
disahkan secara hukum dan agama dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia. Untuk menjadi pasangan yang bahagia, suami-istri harus saling mengenal dan menerima pasangannya, saling mencintai, saling memiliki komitmen terhadap pasangannya, tetap bersama dalam senang dan susah, saling membantu dan mendukung, memiliki komunikasi yang lancar dan terbuka, serta menerima keluarga pasangannya sebagai keluargannya sendiri.













DAFTAR PUSTAKA



Chairy, Liche Seniati. Psikologi Perkawinan (skripsi). 2003. Universitas Indonesia. Jakarta.

http://faisalzuliyandi.multiply.com/reviews

Undang-Undang Perkawinan. 1974. Surabaya : Arkola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar