Minggu, 03 Juli 2011

kasus Newmont


Kasus Newmont ,Arbitrase Internasional dan Pandangan Syariat Islam


Pemerintah melalui Menteri Pertambangan dan Energi akhirnya mengadukan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) ke badan arbitrase internasional. Pasalnya, perusahaan tambang tembaga tersebut dinilai gagal (default) dalam menjalankan kewajiban divestasi saham untuk tahun 2006 dan 2007 sesuai perjanjian kontrak karya yang diteken oleh NNT dan pemerintah pada 2 Desember 1986. Dalam Kontrak Kerja dengan Pemerintah tersebut, NNT diberi kewenangan untuk mengeksplorasi tambang Batu Hijau di Sumbawa, NTB. Luasnya mencapai 1, 667 juta hektar dan merupakan tambang tembaga tersebesar kesepuluh di dunia. Pada saat yang sama sebagaimana yan tertuang di dalam pasal 24 ayat 3
Kontrak Karya PT NNT, disebutkan bahwa saham-saham perusahaan asing harus ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan pertama kepada pemerintah, kedua jika pemerintah tidak menyetujui penawaarn tersebut ditawarkan kepada warga negara Indonesia atau perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia.
Pada pasal 24 ayat 4 juga dinyatakan bahwa jumlah saham yang wajib ditawarkan dan dibeli oleh peserta Indonesia setelah tidak kurang dari 51 persen dari saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Dalam pasal tersebut juga diatur bahwa penawaran tersebut dimulai pada tahun kelima produksi dengan besar sekurang-kurangnya: 15% (tahun ke-5), 23% (tahun ke-6), 30 (tahun ke-7), 37% (tahun ke-8), 44% (tahun ke-9), dan 51%(tahun ke-10). Menurut Pemerintah meski saham NNT telah dimiliki oleh PT Pukuafu Indah, namun NNT yang mulai beroperasi tahun 2000 tersebut dianggap gagal (default) melaksanakan divestasi sahamnya untuk tahun 2006 (tahun ke-6) sebesar 3 persen dan tahun 2007 (tahun ke-7) sebesar 7 persen untuk memenuhi jumlah yang tertuang dalam perjanjian Kontrak Karya di atas.
Pada pasal 21 Kontrak Karya tersebut, diatur mekanisme penyelesaian perselisihan diantara kedua belah pihak yakni melalui rekonsialiasi atau arbitrase. Rekonsiliasi dalam perjanjian tersebut mengacu pada peraturan-peraturan UNCITRAL yang telah disetujui oleh PBB melalui resolusi 35/52. Sementara arbitrase didasarkan pada UNCITRAL yang telah disetujui oleh PBB melalui resolusi 35/52 pada tanggal 15 Desember 1976 yang berjudul Arbitration Laws of United Nations Commition on International Trade Law.
Di Indonesia, penyelesaiaan sengketa melalui arbitrase diatur UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada praktek hukum di negeri ini, penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dapat diselesaikan melalui negosisasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.
Arbitrase sendiri berdasarkan UU No. 30/99 pasal 1 ayat 1 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun jenis sengketa yang dapat menggunakan mekanisme arbitrase terbatas pada bidang perdagangan yang meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Hasil keputusan dari arbitrase ini bersifat mengikat dan berkekuatan hukum. Ini berarti, jika arbitrasi internasional memenangkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), pemerintah dipaksa untuk menerimanya.
Beberapa Kesalahan Mendasar
Terdapat kesalahan mendasar pada paradigma pemerintah dalam mengelola sumber daya alam negeri ini khususnya sektor pertambangan. Dalam mengelola tambang, pemerintah menyerahkan kepada pihak lain dalam bentuk kontrak kerja. Dalam kontrak kerja tersebut, pemerintah disejajarkan dengan perusahaan. Jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak maka seluruhnya diserahkan kepada pihak ketiga melalui arbitrase. Malah dalam UU PM ditetapkan bahwa perselisihan antara pemerintah dengan PMA diselesaikan melalui arbitrase internasional (Pasal 32 ayat 1, 2, 3, dan 4).
Dalam pandangan syariat Islam pengelolaan kekayaan alam seperti yang terjadi pada Kontrak Kerja antara Pemerintah dengan NNT dan kontrak kerja lainnya jelas mengandung sejumlah kesalahan, antara lain:
Pertama, kepemilikan barang tambang. Tambang tembaga dan emas seperti Sumber Hijau sebagaimana halnya dengan sumber-sumber mineral dan tambang lainnya yang memiliki deposit yang sangat besar dikategorikan sebagai milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazany dinyatakan bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِْلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَاَل رَجُلٌ: أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ
Bahwa ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam, maka beliau pun memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw pun manarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud).
Dalam Hadits ini Rasulullah saw meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa ‘illah (sebab disyariahkannya suatu hukum) larangan tambang garam itu dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang tak terbatas. Maka larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Cakupannya bersifat umum, meliputi semua barang tambang apa pun jenisnya, yang depositnya melimpah laksana air mengalir.
Semua barang tambang seperti itu menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu. Juga tidak boleh diberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Akan tetapi wajib ditetapkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslimin, dan mereka berserikat atas harta tersebut.
Di dalam Islam pengelolaan milkiyyah ‘ammah tersebut sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah. Khalifah diwajibkan mengelola kekayaan tersebut dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk kompensasi. Dalam proses pengelolaannya, pemerintah dapat mengelolanya sendiri melalui departemen pertambangan yang berada di bawah kendalinya. Jika memang proses produksinya membutuhkan bantuan pihak swasta dalam proses eksplorasinya maka posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir), pihak yang diperkerjakan dengan kompensasi tertentu. Dengan demikian pemerintah tidak diboleh melakukan perjanjian dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham antara pihak pemerintah dengan pihak kontraktor.
Kedua, peran negara dalam pengelolaan barang tambang. Karena dalam pemanfaatannya diperlukan keahlian, usaha keras, teknologi tinggi, biaya besar, dan pengelolaan profesional, penguasaan dan pengelolaan barang-barang tambang milik umum itu harus diserahkan kepada negara. Hasilnya harus dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya.
Harta yang diperoleh dari eksplorasi kepemilikan umum itu dapat dibelanjakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan umum, seperti untuk biaya pengelolaan, penelitian, pengembangan, dan semua peralatan yang dibutuhkannya. Dapat pula dibagikan kepada individu-individu rakyat, yang memang menjadi pemiliknya. Bisa juga dijual dengan harga murah atau sesuai dengan harga pasar, keuntungannya dapat dikembalikan kepada rakyat berupa berbagai fasilitas vital, seperti rumah sakit, sekolah, kantor-kantor pemerintahan dan industri-industri strategis.
Negara juga berperan dalam melindungi kepemilikan umum. Negara juga harus mencegah individu atau perusahaan swasta memiliki aset-aset yang termasuk kepemilikan umum. Jika ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya, maka negara harus mengambil alih. Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun perusahaan swasta itu pun harus diambil atau diganti dengan harga yang sepadan, karena dianggap telah merampas hak orang lain.
Diriwayatkan bahwa ada dua orang yang bersengketa dan meminta Rasulullah saw memberikan keputusan. Yang menjadi penyebabnya, salah satu dari mereka menanam kurma di tanah milik yang lain. Terhadap kasus tersebut, Rasulullah saw memutuskan bahwa pemilik tanah berhak atas tanahnya, dan pemilik pohon kurma disuruh mencabutnya. Dari Rafi’ bin Khudayj bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفْقَتَهُ
Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sama sekali, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya (HR Ibnu Majah, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi)
Dengan demikian, jika ada pihak swasta yang membangun pabrik kemudian memproduksi barang-barang yang termasuk kepemilikan umum, maka statusnya seperti orang yang menanam tanaman di atas tanah orang lain tanpa izin. Sebagaimana ada dalam Hadits yang diriwayatkan Rafii‘, pemilik perusahaan swasta yang mengelola kepemilikan umum itu harus mengambil semua peralatannya atau menjualnya kepada negara yang secara syâr’i bertugas mengelola aset milik umum tersebut
Ketiga, solusi sengketa. Islam mewajibkan, persengkataan apa pun, termasuk menyangkut akad-akad muamalah, harus dikembalikan kepada peradilan negara Khilafah berdasarkan syariah Islam..Allah Swt berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka (QS al-Maidah [5]: 49).
Allah Swt juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS aNisa’ [4]: 59).
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase, apalagi dengan arbtrase internasional. Di samping karena mendasarkan pada landasan-landasan hukum sekular, juga akan menjerumuskan negeri Muslim ini dikuasai oleh kaum kafir. Dalam banyak kasus, arbitrase internasional telah banyak merugikan kaum Muslim. Islam melarang tindakan apa pun yang dapat menjadi jalan bagi kaum kafir menguasai kaum Mukmin. Allah Swt berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (QS al-Nisa’ [4]: 141).
Walhasil, membawa kasus Newmont yang menambang emas di Nusa Tenggara jelas ke badan arbitrase internasional bertentang dengan syara’. Oleh karena itu harus ditolak. Lebih dari itu, pengelolaan kekayaan alam negeri ini harus dikelola berdasarkan syariah Islam. Bukan dengan sistem kontrak karya ala kapitalisme yang pada faktanya justru melempangkan jalan bagi pihak asing menjarah kekayaan kaum Muslim. WaLlâh a’lam bi al-shawâb. (Lajnah Tsaqafiyyah HTI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar