Kamis, 19 Mei 2011

Dari Pertumbuhan Ekonomi, Swasembada Beras, hingga Krisis Multidimensi

Soeharto dan Kerapuhan Ekonomi Bangsa


Kemandirian suatu bangsa tidak bisa ditawar-tawar. Bangsa yang tidak mandiri dalam banyak hal, akan sulit maju, terutama menyangkut kebutuhan pokok suatu bangsa. Masalah ketidakmandirian itu pula yang membuat bangsa Indonesia tetap tidak stabil, terutama dari sisi ekonomi.


Sampai hari ini Indonesia tetap tergantung kepada pihak asing, semakin sulit mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Hal itu pula yang disesalkan banyak pihak terhadap mantan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lebih. Presiden Soekarno sebelumnya padahal telah mencanangkan kemandirian Indonesia sebagai awal kebangkitan bangsa Indonesia di kancah dunia.
Sayang, kemandirian itu tidak dijaga oleh Presiden Soeharto, dia memilih berkompromi dengan pihak asing ketimbang menggali potensi bangsa sendiri. Akibatnya, kemajuan pesat yang dicapai semasa Presiden Soeharto tidak kokoh alias rapuh.
Terbukti, berbagai pencapaian yang dilakukan semasa Orde Baru seperti pemulihan ekonomi dari kebangkrutan era Soekarno, hingga swasembada pangan, bahkan julukan sebagai salah satu macan Asia dalam perekonomian tidak berlangsung lama. Apa yang dicapai selama 32 tahun berantakan dalam sekejap pascakrisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997 silam.
Di awal pemerintahannya, Soeharto ketika itu memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan utama pemerintah. Kondisi perekonomian nasional saat itu memang lagi amburadul. Kebijakan yang diambil Soeharto tentu saja sangat tepat dan mendapat dukungan dari banyak pihak.
Ketika itu dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat yang diambil umumnya berpendidikan Barat dan liberal seperti lulusan Berkeley, yang kemudian dikenal di dalam klik ekonomi sebagai “Mafia Berkeley”.
Sejarah pertumbuhan ekonomi di awal era pemerintahan Orde Baru memang pantas diacungi jempol, meskipun pada akhir rezimnya, Soeharto dituding hanya mewariskan utang bertumpuk-tumpuk atau sisa kebobrokan sistem ekonomi mikro dan makro yang menyesakkan hingga saat sekarang. Bahkan di masa pemerintahan Orde Baru pula, era ketergantungan Indonesia terhadap asing mulai bersemi dan terus semakin menancapkan kuku dan taringnya di Indonesia. Pasalnya, Soeharto lebih memilih berkompromi dengan pihak Barat alias bertolak belakang dengan pemerintahan Soekarno.
“Namun, setidaknya, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran,” kata seorang ekonom senior yang juga mantan menteri Orde Baru, Prof Dr H Emil Salim.
Pada saat itu, kata Emil Salim, laju inflasi menjelang peristiwa G 30 S, bisa dibilang edan. Jangan kaget, indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali. Harga beras naik 824 kali. Harga tekstil naik 717 kali. Nah, sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp 160 saja menjadi Rp 120.000.
Itu semua agaknya menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Belum lagi persoalan ekonomi yang mencabuti satu per satu ajal rakyat Indonesia ini masih harus dipinggirkan oleh drama pergulatan politik nasional. Namun kepiawaian Soeharto mampu memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa, terutama ahli-ahli ekonomi.
Ketika itu, jurus para ekonom yang diakomodasi pemerintahan Orde Baru itu, paling tidak mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang.
Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir.
Hasilnya, laju inflasi mulai jinak. Dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966), melunak jadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969). “Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,” ujar Emil Salim.
Kebijakan lainnya yang digulirkan pemerintah saat itu adalah deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya).
Pemerintah juga membuka diri untuk penanaman modal asing, meski dilakukan secara bertahap. Juga membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang menyusun strategi negara agraris yang didukung oleh industri, hingga industri yang menghasilkan industri. Dasar-dasarnya sudah diletakkan ketika itu, tetapi implementasinya kemudian kurang optimal.
Kemudian, dalam bidang ekonomi juga tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun mengundang Soeharto untuk menerima penghargaan atas prestasinya.
Kemajuan ekonomi Indonesia pada saat itu dianggap negara-negara maju sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan. Indonesia pun sempat dijuluki sebagai salah satu negara yang bakal menjadi “macan Asia”, karena pertumbuhan ekonominya pesat dan kondisi politik di dalam negeri sangat stabil waktu itu.
Namun, keberhasilan itu tidak dapat dinikmati berlama-lama. Apalagi, pemerintahan Soeharto pada era itu mulai banyak melakukan penyimpangan di berbagai bidang, termasuk maraknya kolusi, korupsi, dan nepotisme di berbagai bidang vital yang menyentuh kepentingan rakyat banyak. Juga bidang yang sensitif, seperti minyak, gas, hutan, pertanian, dan lainnya.
Kegagalan Revolusi Hijau atau revolusi pangan seperti di negara-negara lain juga menimpa Indonesia. Swasembada pangan hanya berlangsung hingga tahun 1989. Indonesia terpaksa kembali mengimpor beras.
Sejak itu, para petani pun banyak yang menjadi sangat tergantung untuk berutang membeli benih, pupuk dan insektisida, banyak yang jatuh miskin karena salah mengelola penghasilan dan tidak dapat membayar kredit, atau karena bencana alam dan serangan hama yang membuatnya gagal panen.
Kegagalan Indonesia dalam melestarikan ketahanan pangan dipicu pula oleh kekurangmampuan meningkatkan diversifikasi pangan, karena warga yang semula memanfaatkan sagu, ubi dan jagung sebagai makanan pokok, justru meninggalkan jenis makanan tersebut dan beralih ke beras, sementara jumlah penduduk juga terus meningkat.
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) mengungkapkan Indonesia terjebak dalam kebijakan pangan yang monokultur (bagian dari upaya penyeragaman kebudayaan) yakni tergantung pada satu jenis tanaman pangan, yaitu tanaman padi untuk menghasilkan beras sebagai bahan pokok pangan.
Padahal suku bangsa Indonesia yang berdiam di ribuan pulau dengan kekayaan alam yang sangat beragam dapat menghasilkan sumber makanan yang beraneka ragam yang menjadi kebudayaan rakyat itu sendiri.
Rakyat Indonesia yang hidup di kepulauan Maluku, dan Papua dulu hidup dari sagu dan ubi-ubian yang setara dengan beras. Demikian pula warga Madura dan Nusa Tenggara Timur yang hidup dari makan beras dicampur jagung dan jagung. Tapi kebijakan orde baru, semua warga tadi didorong untuk memakan nasi.
Maka, kebutuhan akan beras terus meningkat, sementara tingkat produksi beras dalam negeri tidak mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk. Akibatnya, Indonesia semakin tergantung dengan beras impor.
Menjelang akhir kepemimpinannya, Soeharto menghadapi krisis multidimensi di Indonesia yang dipicu oleh krisis moneter, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela, dan terjadinya kesulitan akses pangan oleh rakyat. Kini, masalah diversifikasi pangan kembali dikumandangkan, karena ketergantungan terhadap bahan pangan beras dinilai tetap rawan.
(dari berbagai sumber/krisman kaban)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar